FOMO dan JOMO di Era Digital: Memahami Dampak Psikologis dan Mengembangkan Kesejahteraan Diri



 FOMO dan JOMO di Era Digital: Memahami Dampak Psikologis dan Mengembangkan Kesejahteraan Diri

I. Pendahuluan: Navigasi Kesejahteraan di Era Digital

Lanskap digital modern telah berkembang pesat, mengubah cara individu berinteraksi, mengakses informasi, dan merasakan dunia di sekitar mereka. Dalam konteks ini, dua fenomena psikologis yang menonjol adalah Fear of Missing Out (FOMO) dan Joy of Missing Out (JOMO). FOMO, atau ketakutan akan ketinggalan, telah menjadi isu psikologis yang menarik perhatian akademisi, profesional kesehatan mental, dan masyarakat umum, yang menggambarkan kecemasan yang dirasakan seseorang karena merasa akan melewatkan sesuatu yang penting atau menyenangkan dalam kehidupan orang lain. Sebaliknya, JOMO menawarkan perspektif alternatif yang lebih sehat dan menenangkan. Memahami dinamika psikologis di balik interaksi digital yang masif ini, terutama di kalangan generasi muda, menjadi krusial untuk menjaga kesejahteraan mental di era yang serba terhubung ini.

II. Memahami Fear of Missing Out (FOMO)

A. Definisi dan Karakteristik FOMO

Fear of Missing Out (FOMO) dapat didefinisikan sebagai kekhawatiran yang dialami seseorang bahwa individu lain sedang melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan atau berharga tanpa dirinya, sebuah perasaan yang sering kali dipicu oleh pembaruan aktivitas orang lain melalui media sosial. Ini adalah perasaan cemas atau khawatir yang muncul ketika seseorang merasa melewatkan informasi atau pengalaman menyenangkan dalam kehidupan orang lain.

Karakteristik utama dari FOMO sangat beragam dan mencerminkan sifatnya yang didorong oleh konektivitas digital. Pertama, FOMO pada dasarnya merupakan kebutuhan individu untuk selalu terhubung dengan aktivitas sosial orang lain. Individu yang mengalami FOMO cenderung sering melihat ponsel dan bermain Instagram agar tidak ketinggalan informasi terbaru, bahkan menghabiskan waktu setidaknya enam jam di Instagram hingga melupakan tugas sekolah atau makan sambil bermain gawai. Kedua, kekhawatiran FOMO secara spesifik dipicu oleh pembaruan aktivitas orang lain melalui media sosial. Tingginya aksesibilitas terhadap kehidupan orang lain di platform digital meningkatkan kecenderungan remaja untuk melakukan perbandingan sosial. Ketiga, perbandingan sosial ini menjadi ciri khas, di mana remaja cenderung membandingkan diri mereka saat mengevaluasi diri sendiri. Sebuah survei menunjukkan bahwa 72% partisipan mengalami FOMO akibat penggunaan media sosial, dengan 684 partisipan merasa tertinggal ketika tidak memeriksa akun media sosial mereka. Keempat, perasaan tertinggal ini sering diwujudkan dalam kekhawatiran akan pengalaman orang lain; remaja dengan tingkat FOMO tinggi melaporkan rasa takut jika teman mereka memperoleh pengalaman yang lebih berharga (54%) atau merasa terganggu ketika melewatkan pertemuan yang telah direncanakan bersama (63%). Selain itu, individu yang mengalami FOMO juga bisa merasa gugup dan cemas jika tidak melihat Instagram, serta mudah setuju untuk ikut aktivitas yang ditawarkan.

Fenomena FOMO, pada dasarnya, dapat dipandang sebagai manifestasi perilaku adaptif yang pada akhirnya menjadi maladaptif di era digital. Manusia secara evolusioner adalah makhluk sosial yang terprogram untuk mencari rasa memiliki dan persetujuan sosial. Di masa lalu, dikecualikan dari kelompok sosial dapat berarti ancaman terhadap kelangsungan hidup, seperti kelaparan atau penyakit. FOMO, sebagai kegelisahan cemas karena merasa dikecualikan dari peristiwa penting atau menyenangkan, memanfaatkan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan adaptif ini. Namun, media sosial, dengan terus-menerus menampilkan aktivitas orang lain, menciptakan skala "pengecualian" yang belum pernah terjadi sebelumnya. Apa yang dulunya merupakan ancaman lokal dan nyata (misalnya, melewatkan perburuan atau dikucilkan dari suku) kini menjadi ancaman global, tidak berwujud, dan konstan (misalnya, melewatkan tren daring, acara, atau pencapaian orang lain). Meskipun dorongan dasarnya adaptif—yaitu mencari rasa memiliki—manifestasi digital FOMO sering kali mengarah pada perilaku maladaptif, seperti waktu layar berlebihan, peningkatan kecemasan, dan interaksi yang buruk dalam kehidupan nyata. Hal ini terjadi karena "ancaman" tersebut sebagian besar dipersepsikan dan diperkuat oleh realitas daring yang dikurasi, bukan pengecualian yang benar-benar mengancam jiwa. Pemahaman ini menunjukkan bahwa FOMO bukan sekadar "tren" modern, melainkan distorsi dari dorongan dasar manusia yang diperburuk oleh teknologi, sehingga solusi yang efektif harus mengatasi baik lingkungan digital maupun kebutuhan psikologis yang mendasari, bukan hanya gejala-gejala superfisialnya.

B. Faktor Psikologis Pemicu FOMO

Berbagai faktor psikologis berperan dalam memicu dan memperkuat FOMO. Salah satu pemicu utama adalah perasaan takut dan cemas akan dikucilkan oleh teman-teman karena ketinggalan berita terkini, serta ketakutan akan kehilangan momen berharga. Penelitian secara spesifik menunjukkan kontribusi signifikan dari tidak terpenuhinya kebutuhan psikologi relatedness (keterhubungan) dan kebutuhan psikologi self (diri sendiri), masing-masing sebesar 82,70%, sebagai faktor penyebab FOMO.

Selain itu, tingkat neurotisme yang tinggi juga berkorelasi positif dan signifikan dengan FOMO pada remaja, dengan kontribusi neurotisme sebesar 21,5%. Remaja dengan tingkat neurotisme tinggi cenderung sulit mengendalikan perilaku bermedia sosial, sehingga mereka lebih rentan mengalami FOMO. Faktor lain yang turut berkontribusi adalah rendahnya identitas diri, yang dapat menyebabkan FOMO menjadi sindrom di mana remaja kehilangan jati diri, merasa galau, dan dikucilkan jika tidak mengikuti tren yang ada.

Dalam konteks yang lebih dalam, FOMO dapat dipahami sebagai indikator kesenjangan kebutuhan psikologis dasar. Teori Penentuan Diri (Self-Determination Theory/SDT) mengemukakan tiga kebutuhan psikologis fundamental: otonomi (kontrol diri), kompetensi (kemampuan diri), dan keterhubungan (rasa terhubung dengan orang lain). Data menunjukkan bahwa kebutuhan keterhubungan dan diri yang tidak terpenuhi berkontribusi sangat tinggi terhadap FOMO. Media sosial, pada permukaannya, tampak menawarkan pemenuhan kebutuhan ini: keterhubungan melalui koneksi, kompetensi melalui validasi (seperti "like" dan komentar), dan otonomi melalui ekspresi diri. Namun, sifat interaksi daring yang dikurasi dan seringkali dangkal seringkali berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi secara otentik. Sebaliknya, individu terjebak dalam siklus pencarian validasi eksternal yang pada akhirnya tidak memuaskan secara intrinsik. Oleh karena itu, FOMO bukan hanya ketakutan akan melewatkan acara, melainkan gejala dari kerinduan yang lebih dalam dan tidak terpenuhi akan koneksi sejati dan harga diri. Kecemasan muncul dari persepsi ketidakcukupan saat membandingkan realitas yang tidak dikurasi dengan sorotan yang dikurasi orang lain. Ini menunjukkan bahwa mengatasi FOMO membutuhkan lebih dari sekadar perubahan perilaku, seperti mengurangi waktu layar; diperlukan pembinaan lingkungan—termasuk hubungan offline yang kuat dan penerimaan diri—di mana kebutuhan psikologis fundamental ini dapat terpenuhi secara otentik.

C. Peran Media Sosial dalam Memperburuk FOMO

Media sosial memainkan peran sentral dalam memperburuk fenomena FOMO. Platform-platform ini memungkinkan remaja untuk terus-menerus terhubung dengan teman-teman mereka dan mengakses informasi mengenai kehidupan orang lain, menciptakan paparan konstan terhadap aktivitas yang tampak lebih menarik, bahagia, atau memiliki pencapaian tertentu. Ketika remaja melihat unggahan-unggahan ini, mereka sering membandingkan diri mereka dengan apa yang terlihat di media sosial. Foto dan video yang diunggah seringkali menampilkan versi terbaik dari kehidupan seseorang, sementara aspek negatif atau keseharian yang biasa jarang ditampilkan. Perbandingan sosial yang tidak sehat ini seringkali membuat mereka merasa kurang berharga, tidak cukup baik, atau tertinggal. Fenomena "rumput tetangga selalu lebih hijau" menjadi pemicu utama kecemasan ini.

FOMO juga mendorong remaja untuk mengejar validasi sosial melalui jumlah "like," komentar, dan pengikut di media sosial, merasa bahwa nilai diri mereka ditentukan oleh respons sosial terhadap konten yang diunggah. Tekanan untuk selalu terlibat dan tampil "keren" di media sosial juga meningkat, mengalihkan fokus dari pengembangan diri otentik menjadi sekadar memenuhi ekspektasi sosial semu. Lebih lanjut, media sosial berkontribusi pada munculnya budaya konsumtif, di mana remaja merasa perlu mengikuti tren atau memiliki barang-barang tertentu yang dianggap "keren" untuk menyesuaikan diri, meskipun tidak selalu relevan dengan kebutuhan atau keinginan pribadi mereka. Kecanduan media sosial juga sangat terkait dengan FOMO, terutama di kalangan remaja awal, karena mereka terus mencari kepuasan sementara yang sering berujung pada ketidakstabilan emosi dan kurangnya kepercayaan diri yang berkepanjangan.

Desain platform media sosial sendiri berfungsi sebagai katalisator krisis identitas dan konsumerisme remaja. Platform-platform ini dirancang dengan algoritma dan fitur—seperti "like," berbagi, dan pembaruan konstan—untuk memaksimalkan keterlibatan dan waktu yang dihabiskan pengguna. Desain ini secara efektif mengeksploitasi kebutuhan psikologis manusia yang melekat akan koneksi dan validasi , serta kerentanan remaja selama masa pembentukan identitas, kecenderungan perbandingan sosial, dan rasa tidak aman. Dengan terus-menerus menyajikan kehidupan "ideal" yang dikurasi dan mempromosikan validasi eksternal, platform secara tidak sengaja merusak pembentukan identitas diri yang otentik. Remaja, dalam pencarian mereka akan rasa memiliki dan "eksistensi," mengadopsi persona atau mengejar tren yang tidak sesuai dengan diri mereka, yang mengarah pada "sindrom di mana remaja kehilangan jati diri". Ini adalah konsekuensi langsung dari desain platform yang mendorong perbandingan tidak sehat dan validasi eksternal. Selain itu, sifat visual platform seperti Instagram dan TikTok, serta penekanan pada tren, secara alami mengarah pada "budaya konsumtif". Pengguna melihat produk atau gaya hidup yang diinginkan, merasakan FOMO, dan kemudian terdorong untuk membelinya demi mempertahankan status sosial yang mereka rasakan. Ini adalah implikasi ekonomi langsung yang didorong oleh kemampuan platform untuk menampilkan barang-barang material dan tren. Oleh karena itu, masalah yang muncul melampaui sekadar "penyalahgunaan" media sosial oleh individu; ini menunjuk pada desain inheren platform ini dan model bisnis mereka yang memanfaatkan kerentanan psikologis, yang pada gilirannya menyebabkan masalah sosial yang lebih luas seperti erosi identitas dan peningkatan konsumerisme di kalangan remaja. Hal ini menggarisbawahi perlunya akuntabilitas platform dan program literasi digital yang membahas konsumsi media secara kritis.

D. Dampak Psikologis FOMO pada Kesehatan Mental

Dampak psikologis FOMO terhadap kesehatan mental sangat signifikan dan dapat menciptakan lingkaran setan yang merusak kesejahteraan individu. FOMO dapat menimbulkan rasa cemas atau gelisah yang berlebihan, yang seringkali menyebabkan perubahan mood yang drastis, seperti kekecewaan dan kemarahan. Selain itu, individu yang mengalaminya mungkin menghadapi kesulitan tidur dan merasa mudah lelah. Rasa takut dan kecemasan yang disebabkan oleh FOMO ini secara langsung memengaruhi tingkat stres, depresi, dan ketidakpuasan dengan diri sendiri. Penelitian telah mengonfirmasi bahwa FOMO berkorelasi positif dengan depresi dan kecemasan.

Remaja yang mengalami FOMO seringkali merasa kurang sukses ketika membandingkan diri mereka dengan orang lain yang terlihat lebih aktif atau memiliki kehidupan sosial yang lebih menyenangkan di media sosial, yang pada akhirnya memicu ketidakpuasan dan perasaan rendah diri. Dampak negatif lainnya mencakup penurunan aktivitas akademik karena kurangnya fokus di sekolah , serta kurangnya interaksi dengan orang-orang di sekitar karena terlalu sibuk dengan gawai. FOMO juga dapat mendorong perilaku negatif seperti berbohong untuk menyembunyikan penggunaan media sosial yang berlebihan atau melanggar peraturan sekolah , dan bahkan menyebabkan keterlambatan masuk sekolah. Selain itu, FOMO dapat menyebabkan ketergantungan pada gawai yang bermasalah. Pada tingkat yang lebih parah, FOMO dapat menghambat kemampuan anak muda untuk berkarya dan menjadi kurang kreatif, memunculkan ketakutan berlebihan, rasa rendah diri, insecure, kesulitan mengambil keputusan, hingga memicu depresi.

Lingkaran setan penurunan kesejahteraan mental ini dimulai dengan kecemasan dan ketakutan akan ketinggalan informasi atau pengalaman. Kecemasan ini mendorong individu untuk menggunakan media sosial secara berlebihan dan terus-menerus memeriksa pembaruan. Peningkatan paparan media sosial kemudian mengarah pada lebih banyak perbandingan sosial, di mana individu cenderung menganggap kehidupan orang lain lebih unggul. Perbandingan ini, ditambah dengan kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi, menghasilkan perasaan tidak mampu, harga diri rendah, ketidakpuasan, serta peningkatan stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Kondisi psikologis negatif ini kemudian bermanifestasi dalam masalah perilaku seperti gangguan tidur, penurunan fokus akademik, hubungan sosial yang terganggu, dan penggunaan smartphone yang bermasalah. Fungsi kehidupan nyata yang terganggu dan ketidakpuasan yang berkelanjutan ini selanjutnya memperkuat ketergantungan pada media sosial untuk koneksi atau validasi yang dirasakan, sehingga melanggengkan siklus tersebut. Lingkaran ini menunjukkan bahwa FOMO bukanlah kondisi statis, melainkan proses dinamis yang secara progresif mengikis kesejahteraan mental dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, intervensi yang efektif perlu memutus siklus ini di berbagai titik, mengatasi baik perilaku digital maupun kerentanan psikologis yang mendasarinya.

III. Lanskap Penggunaan Media Sosial di Indonesia

A. Statistik Utama Pengguna Internet dan Media Sosial di Indonesia (2024-2025)

Indonesia menunjukkan tingkat penetrasi digital yang sangat tinggi, yang menjadi latar belakang penting dalam memahami dinamika FOMO dan JOMO di negara ini. Pada awal tahun 2025, tercatat ada 212 juta individu pengguna internet di Indonesia, dengan tingkat penetrasi daring mencapai 74,6% dari total populasi. Jumlah pengguna internet ini menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, meningkat sebanyak 17 juta atau 8,7% antara Januari 2024 dan Januari 2025.

Seiring dengan pertumbuhan internet, penggunaan media sosial juga sangat masif. Terdapat 143 juta identitas pengguna media sosial aktif di Indonesia pada Januari 2025, yang setara dengan 50,2% dari total populasi. Angka ini juga menunjukkan peningkatan sebesar 4 juta atau 2,9% antara awal 2024 dan awal 2025. Secara keseluruhan, Indonesia memiliki tingkat penetrasi media sosial yang tinggi, yaitu 61,8%, yang berada di atas rata-rata global. Data lebih lanjut menunjukkan bahwa sebagian besar remaja Indonesia sangat aktif di media sosial, dengan 93,52% remaja berusia 9–19 tahun menggunakan platform ini.

Tingginya penetrasi digital dan kerentanan remaja di Indonesia menciptakan lingkungan yang unik untuk fenomena FOMO. Tingkat penetrasi internet dan media sosial yang sangat tinggi menunjukkan bahwa lingkungan digital telah meresap ke hampir setiap aspek kehidupan. Pada saat yang sama, sebagian besar remaja Indonesia terpapar media sosial selama tahap perkembangan kritis, di mana pembentukan identitas dan perbandingan sosial menjadi sangat intens. Orang tua di Indonesia, misalnya, umumnya menganggap usia 13-14 tahun, yaitu saat anak memasuki sekolah menengah pertama, sebagai waktu yang tepat untuk memberikan smartphone. Hal ini berarti sebagian besar remaja mulai menggunakan media sosial pada usia yang sangat rentan.

Selain itu, konteks budaya Indonesia sebagai masyarakat kolektivistik, di mana identitas individu sangat dipengaruhi oleh kelompok sosialnya, memperkuat tekanan untuk menyesuaikan diri dan tetap mengikuti aktivitas teman sebaya. Kombinasi akses digital yang tinggi, kerentanan psikologis remaja, dan konteks budaya kolektivistik ini menciptakan lahan subur bagi meluasnya FOMO dan dampak psikologis negatifnya di kalangan pemuda Indonesia. Hal ini menyoroti kebutuhan mendesak akan kampanye kesehatan masyarakat yang ditargetkan dan inisiatif pendidikan di Indonesia yang berfokus pada literasi digital, kebiasaan media sosial yang sehat, serta pembinaan harga diri intrinsik, khususnya untuk remaja dan orang tua mereka. Skala pengguna yang besar dan kelompok usia mereka menjadikan ini area yang sangat penting untuk intervensi.

Berikut adalah tabel yang merangkum statistik utama pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2025:

Tabel 1: Statistik Utama Pengguna Media Sosial di Indonesia (Januari 2025)

| Metrik | Data | Sumber |

|---|---|---|

| Total Pengguna Internet | 212 juta |  |

| Penetrasi Internet | 74,6% dari total populasi |  |

| Pertumbuhan Pengguna Internet (YoY) | +17 juta (+8,7%) dari Jan 2024 |  |

| Total Pengguna Media Sosial Aktif | 143 juta identitas |  |

| Penetrasi Media Sosial (terhadap populasi total) | 50,2% dari total populasi |  |

| Pertumbuhan Pengguna Media Sosial (YoY) | +4 juta (+2,9%) dari Jan 2024 |  |

| Pengguna Media Sosial Usia 18+ | 126 juta (62,7% dari populasi 18+) |  |

| Komposisi Gender Pengguna Medsos | 46,0% Perempuan, 54,0% Laki-laki |  |

| Pengguna YouTube | 143 juta |  |

| Pengguna Facebook | 122 juta |  |

| Pengguna Instagram | 103 juta |  |

| Pengguna TikTok (18+) | 108 juta |  |

| Pengguna LinkedIn | 33,0 juta |  |

| Pengguna Messenger | 25,6 juta |  |

| Pengguna X (Twitter) | 25,2 juta |  |

| Pengguna Snapchat | 1,69 juta |  |

B. Demografi Pengguna Media Sosial di Indonesia

Analisis demografi pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2025 menunjukkan beberapa pola penting. Dari total pengguna media sosial, 126 juta pengguna berusia 18 tahun ke atas, yang setara dengan 62,7% dari total populasi usia 18 tahun ke atas. Komposisi gender pengguna media sosial di Indonesia pada awal 2025 menunjukkan sedikit dominasi laki-laki, dengan 46,0% perempuan dan 54,0% laki-laki.

Platform media sosial terpopuler di Indonesia berdasarkan jangkauan iklan pada awal 2025 adalah YouTube dengan 143 juta pengguna, diikuti oleh Facebook dengan 122 juta pengguna, TikTok dengan 108 juta pengguna (untuk usia 18+), dan Instagram dengan 103 juta pengguna.

Dinamika pergeseran platform dan dampaknya pada manifestasi FOMO merupakan aspek yang perlu diperhatikan. Platform-platform dominan seperti YouTube, Facebook, TikTok, dan Instagram masing-masing memiliki fitur dan format konten yang unik. Desain spesifik sebuah platform dapat memengaruhi bagaimana FOMO bermanifestasi. Sebagai contoh, siklus tren TikTok yang cepat dapat menyebabkan FOMO yang intens dan serba cepat, didorong oleh ketakutan akan melewatkan konten viral. Sementara itu, penekanan Instagram pada kesempurnaan visual dapat memicu FOMO yang berkaitan dengan perbandingan gaya hidup dan citra tubuh. Jika kelompok usia yang berbeda cenderung menggunakan platform yang berbeda—misalnya, Generasi Z lebih banyak di TikTok, sementara demografi yang lebih tua mungkin lebih aktif di Facebook—maka sifat FOMO yang dialami oleh kelompok-kelompok ini mungkin berbeda berdasarkan desain dan konten inheren platform tersebut. Memahami platform yang dominan dan fitur-fitur spesifiknya sangat penting untuk mengembangkan intervensi yang ditargetkan untuk FOMO. Pendekatan "satu ukuran cocok untuk semua" mungkin tidak efektif. Sebagai contoh, strategi untuk FOMO yang disebabkan oleh TikTok mungkin berfokus pada konsumsi konten bentuk pendek yang penuh perhatian dan pelepasan tren, sementara FOMO terkait Instagram mungkin memerlukan penekanan pada literasi media mengenai realitas yang dikurasi.

IV. Mengembangkan Joy of Missing Out (JOMO)

A. Definisi dan Konsep JOMO sebagai Antidote FOMO

Joy of Missing Out (JOMO) adalah antitesis dari FOMO, yang mendorong kegembiraan dalam memilih untuk tidak berpartisipasi dalam setiap acara sosial dan menemukan kepuasan dalam kesendirian serta aktivitas pribadi. JOMO merupakan keadaan psikologis di mana individu menemukan kepuasan dalam kebersamaan dengan diri sendiri dan aktivitasnya, tanpa paksaan untuk berpartisipasi dalam setiap acara sosial, menyiarkan setiap detail kehidupan secara daring, atau merasa harus selalu menemukan apa yang mungkin terlewatkan. Konsep ini melibatkan pergeseran yang disengaja dari kondisi hyper-connected menjadi menghargai momen-momen diskoneksi, di mana seseorang dapat mengisi ulang energi dan merefleksikan diri jauh dari hiruk pikuk dunia luar. JOMO menekankan penggunaan waktu untuk diri sendiri, bersantai, dan menyadari bahwa tidak semua pengalaman sosial atau tren populer harus dikejar dan diikuti. Ini adalah tentang menghargai momen saat ini dan merasa nyaman dengan pilihan untuk tidak selalu mengikuti arus.

JOMO dapat dipandang sebagai manifestasi otonomi diri di era digital. FOMO dicirikan oleh paksaan untuk berpartisipasi, ketakutan akan ketinggalan, dan dorongan untuk memenuhi standar sosial eksternal. Ini menyiratkan kurangnya otonomi, di mana pilihan didikte oleh tekanan eksternal. JOMO, sebaliknya, menekankan pilihan pribadi dan kesejahteraan di atas konektivitas konstan dan perbandingan sosial. Ini adalah tentang menemukan kepuasan dalam kebersamaan dan aktivitas sendiri  serta membuat pilihan yang disengaja untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi. Hal ini selaras langsung dengan kebutuhan psikologis akan otonomi, komponen inti dari teori penentuan diri. JOMO bukan hanya reaksi terhadap FOMO, melainkan penegasan aktif dari arah diri dan lokus kontrol internal atas pengalaman dan waktu seseorang. Ini menjadikan JOMO lebih dari sekadar "memutus koneksi"; ini adalah tindakan pemberdayaan diri yang mendalam dan merebut kembali agensi di dunia yang terus-menerus membombardir individu dengan rangsangan eksternal dan tekanan sosial. Ini menjadikan JOMO alat yang ampuh untuk mendorong kesejahteraan psikologis di luar sekadar mengelola kebiasaan digital.

B. Manfaat Menerapkan JOMO untuk Kesejahteraan Diri

Menerapkan JOMO membawa berbagai manfaat signifikan bagi kesejahteraan diri. JOMO dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan mental, secara efektif mengurangi stres, kecemasan, dan depresi yang sering diperburuk oleh penggunaan media sosial yang berlebihan. Dengan mengurangi tekanan untuk selalu terhubung dan membandingkan diri, individu dapat merasakan peningkatan mindfulness atau kesadaran diri terhadap momen saat ini, yang mengarah pada keterlibatan yang lebih mendalam dengan kehidupan sehari-hari.

Selain itu, JOMO berkontribusi pada peningkatan fokus dan produktivitas, karena individu dapat mengalihkan perhatian dari gangguan digital menuju tujuan dan minat pribadi mereka. Manfaat lain yang krusial adalah peningkatan kualitas hubungan dengan orang lain yang lebih bermakna. Dengan memprioritaskan interaksi tatap muka dan koneksi yang lebih dalam, individu dapat membangun ikatan yang lebih kuat dan memuaskan. JOMO membantu individu merasa lebih tenang, bahagia, dan puas dengan kehidupan mereka, mendorong mereka untuk fokus pada apa yang mereka lakukan dan rasakan, serta menghargai momen saat ini. Pada akhirnya, JOMO juga dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan fisik secara keseluruhan , serta membantu individu menemukan keseimbangan hidup yang sehat antara dunia daring dan luring.

JOMO dapat dipandang sebagai investasi jangka panjang pada modal psikologis individu. FOMO menyebabkan penipisan sumber daya psikologis, seperti peningkatan kecemasan, stres, depresi, penurunan fokus, dan hubungan yang dangkal. Sebaliknya, JOMO menumbuhkan kondisi dan perilaku psikologis positif: peningkatan kesadaran, peningkatan kesehatan mental, peningkatan kesadaran diri, fokus yang lebih baik, dan hubungan yang lebih dalam. Mirip dengan bagaimana investasi finansial membangun modal dari waktu ke waktu, praktik JOMO membangun "modal psikologis." Dengan memilih untuk "melewatkan" kebisingan digital eksternal dan sebaliknya berinvestasi dalam pengalaman internal (seperti kesendirian dan refleksi diri) serta koneksi offline yang tulus, individu mengumpulkan sumber daya yang meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan mereka secara keseluruhan. Perspektif ini membingkai JOMO bukan sebagai kekurangan, melainkan sebagai investasi strategis jangka panjang dalam kesehatan mental dan emosional seseorang, menghasilkan manfaat gabungan yang melawan efek korosif dari perbandingan digital konstan dan validasi eksternal.

C. Strategi Praktis untuk Melatih JOMO

Menerapkan JOMO dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan serangkaian strategi praktis yang berfokus pada pengelolaan interaksi digital, pengembangan diri, dan penguatan hubungan nyata.

1. Menetapkan Batasan dengan Teknologi (Digital Detox)

Salah satu langkah fundamental adalah menentukan waktu khusus untuk membuka media sosial dan mematuhi batasan tersebut. Ini dapat diwujudkan dengan menetapkan waktu atau zona bebas teknologi di rumah, menciptakan periode diskoneksi yang disengaja. Mematikan notifikasi yang tidak penting dan membatasi notifikasi hanya untuk aplikasi atau kontak yang benar-benar penting juga sangat membantu dalam mengurangi gangguan yang tidak perlu. Selain itu, melakukan digital detox secara berkala, misalnya satu hari dalam seminggu atau beberapa jam setiap hari di mana individu benar-benar offline dari gawai dan media sosial, dapat memberikan efek yang signifikan.

Pembatasan eksternal ini, seperti digital detox dan penetapan batasan, seringkali dimulai sebagai aturan yang diberlakukan dari luar (misalnya, "tidak ada ponsel setelah jam 9 malam"). Namun, kepatuhan yang konsisten terhadap aturan eksternal ini membantu membangun pengaturan diri dan disiplin atas kebiasaan digital. Seiring waktu, kontrol eksternal ini dapat diinternalisasi, mengarah pada keinginan intrinsik untuk memutuskan koneksi dan berkurangnya ketergantungan pada isyarat eksternal seperti notifikasi. Perjalanan dari pembatasan eksternal menuju kontrol internal ini adalah kunci untuk mencapai aspek otonomi dari JOMO, di mana individu memilih untuk memutuskan koneksi daripada merasa terpaksa. Keberhasilan batasan digital terletak pada kemampuannya untuk menumbuhkan kontrol internal dan rasa agensi, mengubah perilaku yang membatasi menjadi pilihan yang memberdayakan.

2. Mengembangkan Hobi Soliter

Terlibat dalam aktivitas yang dapat dinikmati sendiri adalah strategi penting lainnya untuk melatih JOMO. Ini bisa mencakup membaca buku, berkebun, membuat kerajinan tangan , bersepeda, memancing, atau mewarnai, yang semuanya tidak memerlukan koneksi internet. Membuat daftar aktivitas yang benar-benar dinikmati dan secara sadar memasukkannya ke dalam rutinitas harian dapat membantu individu memprioritaskan waktu untuk diri sendiri. Menciptakan rutinitas "me time" khusus setiap hari tanpa gangguan teknologi juga merupakan cara efektif untuk menumbuhkan kepuasan dalam kesendirian.

Solitude, atau kesendirian tanpa kesepian, berfungsi sebagai ruang inkubasi identitas diri yang otentik. FOMO, terutama di kalangan remaja, dapat menyebabkan hilangnya identitas karena individu menyesuaikan diri dengan tren dan mencari validasi eksternal. Namun, solitude, sebagaimana didefinisikan sebagai tindakan sadar untuk menyendiri tanpa merasa kesepian yang melibatkan keterlibatan positif dan konstruktif dengan diri sendiri , menawarkan solusi. Ketika individu terlibat dalam hobi soliter, mereka bebas dari perbandingan sosial dan tekanan eksternal. Ini menyediakan ruang penting untuk introspeksi, refleksi diri, dan keterlibatan tulus dengan minat dan gairah mereka sendiri. Proses ini membantu dalam menemukan kembali dan memelihara diri yang otentik, berbeda dari persona daring yang dikurasi. Ini memungkinkan individu untuk memahami apa yang benar-benar membawa kegembiraan dan kepuasan bagi mereka, terlepas dari validasi eksternal. Oleh karena itu, hobi soliter bukan hanya tentang "menghabiskan waktu," melainkan praktik vital untuk menumbuhkan kesadaran diri, memperkuat identitas pribadi, dan membangun motivasi intrinsik, yang secara langsung melawan sifat FOMO yang didorong oleh validasi eksternal.

3. Memprioritaskan Hubungan Personal yang Bermakna

Fokus pada membina koneksi yang lebih dalam dan bermakna dengan lebih sedikit orang, daripada mempertahankan jaringan yang luas dan dangkal, adalah inti dari JOMO. Ini berarti meluangkan waktu lebih banyak bersama orang terkasih, seperti keluarga, anak, saudara, atau sahabat, melalui quality time yang nyata. Penting untuk membuat keputusan sadar untuk terpisah sejenak dari media sosial saat bersama mereka dan fokus pada momen yang ada, membangun relasi yang riil dan hangat dengan orang di sekeliling.

Kualitas hubungan nyata mengalahkan kuantitas interaksi digital. FOMO seringkali mendorong individu untuk mempertahankan jaringan daring yang luas dan dangkal serta terus-menerus memantau aktivitas orang lain. Ini memprioritaskan kuantitas koneksi daripada kualitas. JOMO, sebaliknya, menekankan pembinaan koneksi yang lebih dalam dan bermakna dengan lebih sedikit orang  dan membangun hubungan yang nyata dan hangat. Kebutuhan akan keterhubungan yang tidak terpenuhi adalah pendorong utama FOMO. Interaksi tatap muka yang tulus memberikan tingkat kedalaman emosional, empati, dan saling pengertian yang seringkali tidak dapat ditiru oleh interaksi daring yang dangkal. Koneksi otentik ini jauh lebih memuaskan secara psikologis. Pergeseran dari jaringan digital yang luas ke hubungan kehidupan nyata yang mendalam adalah mekanisme inti di mana JOMO mengatasi kekosongan psikologis yang coba diisi oleh FOMO. Ini menunjukkan bahwa "keterhubungan" sejati ditemukan dalam kualitas koneksi, bukan luasnya jangkauan media sosial seseorang.

4. Mengetahui Apa yang Diinginkan dan Berani Berkata "Tidak"

Memiliki pemahaman mendalam tentang apa yang benar-benar diinginkan, daripada hanya mengikuti keramaian, adalah kunci untuk menerapkan JOMO. Ini melibatkan fokus pada tujuan atau target hidup serta minat yang dimiliki daripada memikirkan hal-hal yang tidak produktif. Keberanian untuk mengatakan "tidak" pada undangan atau kegiatan yang tidak membuat nyaman juga sangat penting, karena dengan terbiasa mengatakan "tidak", hati menjadi lebih tenang dan tidak terbebani oleh komitmen yang tidak perlu.

JOMO sebagai wujud keselarasan nilai diri dan tindakan. FOMO seringkali menyebabkan individu terlibat dalam aktivitas atau mengejar tren yang tidak selaras dengan keinginan atau nilai-nilai mereka yang sebenarnya, didorong oleh tekanan eksternal atau ketakutan akan ketinggalan. Ini menciptakan ketidakselarasan antara nilai-nilai internal dan tindakan eksternal. JOMO mendorong individu untuk mengetahui apa yang mereka inginkan  dan berfokus pada tujuan hidup, target, dan minat mereka. Ini adalah tentang membuat pilihan selektif untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi. Penekanan pada kejelasan internal dan penolakan yang berani terhadap aktivitas yang tidak selaras berarti JOMO menumbuhkan kehidupan di mana tindakan selaras dengan nilai-nilai pribadi. Keselarasan ini adalah landasan kesejahteraan psikologis dan otentisitas. JOMO bukan hanya tentang menghindari sesuatu; ini tentang secara aktif memilih apa yang benar-benar penting bagi diri sendiri. Keselarasan antara nilai dan perilaku ini membangun rasa diri yang lebih kuat dan mengurangi konflik internal, yang mengarah pada kepuasan dan pemenuhan yang lebih besar.

Berikut adalah tabel yang merangkum strategi praktis untuk melatih JOMO:

Tabel 2: Strategi Praktis Menerapkan JOMO

| Kategori Strategi | Deskripsi Strategi | Manfaat yang Diharapkan |

|---|---|---|

| Batasan Digital | Menentukan waktu khusus untuk media sosial, menetapkan zona bebas teknologi, mematikan notifikasi tidak penting, melakukan digital detox berkala. | Mengurangi gangguan, meningkatkan kontrol diri, mengurangi perbandingan sosial. |

| Pengembangan Diri | Terlibat dalam hobi soliter (membaca, berkebun, dll.), membuat daftar aktivitas yang dinikmati, menciptakan rutinitas "me time" tanpa teknologi. | Meningkatkan kesadaran diri, memperkuat identitas otentik, menemukan kepuasan intrinsik. |

| Hubungan Sosial | Fokus pada membina koneksi yang lebih dalam dengan sedikit orang, meluangkan quality time nyata dengan orang terkasih, memutuskan koneksi media sosial saat bersama. | Membangun ikatan yang lebih kuat, memenuhi kebutuhan keterhubungan secara otentik, mengurangi perasaan kesepian. |

| Refleksi Diri & Otonomi | Memiliki pemahaman mendalam tentang keinginan pribadi, fokus pada tujuan hidup dan minat, berani mengatakan "tidak" pada kegiatan yang tidak nyaman. | Meningkatkan keselarasan nilai-nilai, mengurangi beban eksternal, memperkuat rasa agensi dan otonomi. |

V. Studi Kasus dan Pengalaman Nyata Penerapan JOMO

Penerapan JOMO tidak hanya sebatas konsep teoretis, melainkan sebuah praktik nyata yang telah berhasil diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh banyak individu, membawa dampak positif pada kesejahteraan mereka. Berbagai contoh menunjukkan bagaimana JOMO dapat diwujudkan melalui perubahan perilaku dan pola pikir.

A. Contoh Penerapan JOMO dalam Kehidupan Sehari-hari

Salah satu contoh paling nyata dari penerapan JOMO adalah melalui digital detox dan pembatasan media sosial. Individu secara sadar memutuskan untuk masuk pada suasana solitude, yaitu keadaan sendirian tanpa merasa kesepian, di mana mereka merasa lebih tenang dan jernih dalam melihat peristiwa yang terjadi. Dalam suasana ini, mereka terlibat dalam aktivitas yang tidak memerlukan koneksi internet, seperti membaca buku, mendengarkan musik, bersepeda, memancing, atau mewarnai. Hal ini menunjukkan bahwa "melewatkan" interaksi digital dapat mengarah pada pengalaman yang lebih mendalam dan menenangkan dalam kehidupan nyata.

Contoh lain adalah fokus pada tujuan pribadi daripada terpengaruh oleh pencapaian orang lain. Ketika orang di sekitar meraih pencapaian, misalnya promosi jabatan, individu yang menerapkan JOMO tidak merasa tertinggal karena mereka tahu tujuan sebenarnya adalah mengubah arah karier, bukan mendapatkan promosi yang sama. Ini melibatkan fokus pada apa yang ingin diraih dan berkomitmen mengejarnya dengan target waktu yang jelas. Pendekatan ini memungkinkan individu untuk mengarahkan energi mereka pada hal-hal yang benar-benar bermakna bagi diri mereka sendiri, bukan pada ekspektasi sosial.

Kemampuan untuk berani berkata "tidak" juga merupakan manifestasi JOMO yang kuat. Individu menyadari bahwa mereka tidak harus menghadiri semua undangan atau mengikuti segala hal yang dilakukan orang lain, terutama jika kegiatan tersebut tidak membuat mereka nyaman. Dengan terbiasa mengatakan "tidak" pada hal-hal yang tidak selaras dengan nilai atau kebutuhan mereka, hati menjadi lebih tenang dan tidak terbebani oleh komitmen yang tidak perlu. Ini adalah tindakan pemberdayaan diri yang membebaskan individu dari tekanan sosial.

Penerapan JOMO juga terlihat dalam upaya membangun hubungan nyata yang lebih dalam. Individu secara sadar memilih untuk memutuskan koneksi dari media sosial saat bersama teman dan/atau keluarga, guna membangun kontak sosial yang lebih hangat dan percakapan yang lebih bermakna. Alih-alih sibuk dengan ponsel, mereka menyisihkan waktu untuk quality time yang nyata, seperti bercengkrama sambil menikmati teh hangat di sore hari atau mengunjungi teman lama. Ini menunjukkan pergeseran prioritas dari interaksi kuantitas daring ke kualitas hubungan luring.

Bahkan dalam konteks yang lebih spesifik seperti investasi, JOMO juga diterapkan. Investor yang menganut JOMO tidak tergoda untuk mengikuti setiap tren investasi spekulatif yang muncul, melainkan fokus pada strategi jangka panjang yang sesuai dengan tujuan finansial mereka. Pendekatan ini mengurangi stres dan kecemasan yang sering menyertai aktivitas trading intens yang didorong oleh FOMO, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih tenang dan terencana.

Secara keseluruhan, JOMO dapat dipandang sebagai disiplin diri yang membebaskan. Sekilas, "melewatkan" atau "mengatakan tidak" mungkin tampak membatasi atau bahkan mengisolasi. Namun, contoh-contoh yang diberikan—seperti detoks digital untuk kejelasan mental, fokus pada tujuan pribadi, menolak undangan yang tidak nyaman, dan membina koneksi kehidupan nyata yang mendalam—semuanya mengarah pada rasa pembebasan yang mendalam. Individu dibebaskan dari tekanan eksternal, perbandingan sosial yang merusak, dan pengejaran tren yang cepat berlalu. Kebebasan ini memungkinkan mereka untuk merebut kembali waktu, energi, dan ruang mental mereka, mengarahkannya ke aktivitas dan hubungan yang benar-benar selaras dengan nilai-nilai mereka dan membawa kegembiraan intrinsik. Ini menunjukkan bahwa JOMO bukan tentang kehilangan pengalaman, melainkan tentang memperoleh kendali dan otentisitas dalam hidup seseorang. Ini mengubah batasan yang dirasakan menjadi pilihan yang memberdayakan, menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati sering ditemukan dalam kesederhanaan dan pilihan yang disengaja.

VI. Kesimpulan

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dan Joy of Missing Out (JOMO) merupakan dua sisi mata uang dalam interaksi manusia dengan dunia digital. FOMO, yang berakar pada kebutuhan psikologis dasar akan keterhubungan dan harga diri, telah diperparah secara signifikan oleh media sosial. Platform digital, dengan desainnya yang mendorong perbandingan sosial dan pencarian validasi eksternal, secara tidak langsung memicu krisis identitas dan budaya konsumtif, terutama di kalangan remaja Indonesia yang memiliki tingkat penetrasi digital sangat tinggi. Dampak psikologis FOMO sangat merusak, menciptakan lingkaran setan kecemasan, depresi, penurunan fokus akademik, dan gangguan hubungan sosial.

Namun, JOMO menawarkan sebuah jalan keluar yang memberdayakan. Sebagai antitesis FOMO, JOMO menekankan otonomi diri dan kepuasan dalam memilih untuk tidak selalu mengikuti arus. Ini adalah investasi jangka panjang pada modal psikologis individu, yang mengarah pada peningkatan mindfulness, kesehatan mental yang lebih baik, fokus yang lebih tajam, dan kualitas hubungan yang lebih bermakna. Strategi praktis untuk melatih JOMO, seperti menetapkan batasan dengan teknologi, mengembangkan hobi soliter, memprioritaskan hubungan personal yang mendalam, serta mengetahui apa yang diinginkan dan berani berkata "tidak", semuanya mengarah pada pembebasan dari tekanan eksternal.

Pada akhirnya, JOMO bukan tentang mengisolasi diri, melainkan tentang membuat pilihan yang disengaja untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi. Ini adalah disiplin diri yang membebaskan, memungkinkan individu untuk merebut kembali kendali atas waktu dan energi mereka, mengarahkannya pada aktivitas dan hubungan yang benar-benar selaras dengan nilai-nilai mereka. Dalam dunia yang terus-menerus menuntut konektivitas dan perbandingan, kemampuan untuk merangkul JOMO menjadi keterampilan krusial untuk mencapai keseimbangan hidup dan kesejahteraan di era digital.



Baca Juga
Lebih baru Lebih lama